MAKALAH MENGANALISIS CERPEN
“PERADILAN RAKYAT”
BAHASA INDONESIA
KELOMPOK I
SMA NEGERI 07 MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita
panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa karena atas berkah dan rahmat-Nya sehingga
kami kami dapat menyelesaikan makalah dengan tepat waktu. Terima kasih untuk
ibu guru yang membimbing dalam penulisan makalah yang berjudul “MENGANALISIS
CERPEN PERADILAN RAKYAT”.
Harapan penulis semoga
makalah dapat memberi pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Makalah ini kami sadari
masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami harap kepada pembaca untuk
memberi kritik dan saran yang bersifat membangun
Makassar, 13 September
2015
DAFTAR ISI
I.
DAFTAR
ISI................................................................................................1
II.
PENDAHULUAN
1.
(LATAR
BELAKANG)..............................................................................2
III.
PEMBAHASAN
2.
UNSUR INTRINSIK................................................................................11
3.
UNSUR
EKSTRINSIK.............................................................................18
4.
NILAI YANG TERDAPAT DALAM
CERPEN......................................19
IV.
KESIMPULAN..........................................................................................21
V.
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Cerpen “Peradilan Rakyat” karya Putu Wijaya merupakan salah satu cerpen
yang terdapat dalam kumpulan cerpen Klop Putu Wijaya tahun 2010. Cerpen ini menceritakan tentang sebuah dialog seorang anak dengan ayahnya.Kedatangan tersebut bukan sekedar
hubungan Ayah dan anak, melainkan seorang pengacara yang masih junior dan
pengacara yang sudah senior. Kedatangan pengacara muda tersebut untuk
memperbincangkan masalah hukum di negara yang dirasanya lemah. Pengacara muda
ini sedang menangani suatu kasus dipersidangan. Ia ditugaskan oleh
negaranya untuk membela seorang penjahat yang telah merugikan negara. Semula ia
tidak mau. Namun setelah mengetahui banyak hal tentang persandiwaraan dalam persidangan,
serta penjahat itu juga secara langsung meminta pengacara muda itu untuk
membelanya. Maka pengacara muda itu menerimanya. Bukan karena uang, ancaman,
balas jasa, atau pun untuk meraih publikasi karena kehebatannya dalam membela,
namun, karena ia merasa sebagai seorang pengacara yang professional. Pengacara
muda itu tidak bisa menolak karena hal itu adalah kewajiban seorang pengacara
untuk membela siapapun di pengadilan ketika diminta mejadi seorang pembela.
Dalam dialog itu sudah tergambarkan kemenangan persidangan ada di pihak
pengacara muda, karena bukti-bukti yang diberikan oleh negara sangat sedikit
dan lemah, pengadilan itu juga terkesan tergesa-gesa, sehingga pengacara itu
bisa menang dengan mudah. Setelah Pengadilan terhadap penjahat itu dimulai.
Gambaran dari pengacara itu benar-benar terjadi. Hasil persidangan dimenangkan
oleh pengacara muda tersebut, maka penjahat itupun bebas. Dengan tertawa lepas
penjahat itu menerima kebebasannya dan dengan cepat dia pergi keluar negeri dan
sudah sulit untuk dijamah kembali. Mengetahui hal itu rakyat menjadi marah,
mereka turun kejalan. Demonstrasi dimana-mana, gedung pengadilan dibakar, para
hakimnya dikejar, dan pengacara muda itu diculik dan disiksa, dan setelah
menjadi mayat baru dikembalikan. Rakyat sangat marah dan hendak menggulingkan
pemerintahan yang sah.
Dalam makalah ini penulis akan menganalisis
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik serta nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen Peradilan Rakyat karya Putu
Wijaya.
CERPEN
PUTU WIJAYA
Peradilan rakyat
Seorang
pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara
senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi
aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu,
"aku
datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di
negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara
tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap
putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda? Pengacara muda tertegun.
"Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya kepada
kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung tombak
pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik,
kalau begitu, Anda mengerti maksudku”
"Tentu
saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu
kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan
perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang
kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang
cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji
ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang
dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih
muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah
kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak
pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di
lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah
membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak
belajar dari buku itu."
Pengacara
muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan
yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku
tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah
Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari
kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah
Andalakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak
pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi.
Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil
dan sempurna, tetapi kau
juga, adalah keadilan itu sendiri". Pengacara tua
itu meringis.
"Aku
suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu
Keadilan." Kata pengacara tua itu.
"Itu
semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal
ampun!"Pengacara tua itu tertawa. "Kau sudah
mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda
terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta
maaf.
"Tidak
apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung
pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian
itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan
diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku,
mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air,bagai suara alam, karena kamu
sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara
muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan
ucapannya dengan lebih tenang."Aku datang kemari ingin
mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima
kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang
penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun
datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada
akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk
mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak
benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin
mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela
hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah
diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku,
aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua
sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku
tangani.Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak
boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau
perlu dingin dan beku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara
supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu
tanpa alasan. Lalu akumelakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan
faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin
menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun,
tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke
titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela
seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan
itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi
jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah
yang aku tentang. Negara harusnya percaya bahwa menegakkan
keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang
sudah Anda lakukan selama ini." Pengacara muda itu berhenti sebentar
untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi
aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk
menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima
baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta
dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
"Lalu kamu terima?"potong pengacara tua itu tiba-tiba.Pengacara
muda itu terkejut.
Ia menatap pengacara tua itu dengan
heran. "Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara
tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh.
Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil
menghela napas kemudian ia berkata:"Sebab aku kenal siapakamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang."Ya
aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku
tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan
kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang
membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehinggatercapai keputusan yang seadila-dilnya."Pengacara tua mengangguk anggukkan kepala
tanda mengerti. "Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara
lain.
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku.
"Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa
yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu. "Jadi langkahku
sudah benar?"Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
"Jangan
dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai
profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya
ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana
yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada
tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah
kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena
sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu
membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan
yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan
uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan
juga Karena uang
"Bukan!".
"Lalu karena apa?"
Pengacara
muda itu tersenyum. "Karena aku akan membelanya."
"Supaya
dia menang?"
"Tidak
ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk
mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling
benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang
bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi
memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."Pengacara tua
termenung.
"Apa
jawabanku salah?"Orang tua itu menggeleng.
"Seperti
yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada
kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akanberhasil keluar sebagai
pemenang."
"Jangan
meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim
yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi
kamu akan menang."
"Perkaranya
saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah
bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca
walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena
soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara
muda itu tertawa kecil."Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal
Anda jujur saja."
"Aku jujur."
Betul?"
"Betul!"Pengacara
muda itu tersenyum dan manggut-manggut.
Yang
tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi."Tapi kamu
menerima membela penjahat itu,
bukan karena takut, bukan?"
"Bukan!
Kenapa mesti takut?!"
"Mereka
tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
“Jumlah
uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman.Dia
tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak.” Pengacara tua itu terkejut
"Sama sekali tak dibicarakan berapaa kan membayarmu?
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"Pengacara
muda itu tertawa
."Aku
tak pernah mencari uangdari kesusahan orang!"
"Tapi
bagaimana kalau dia sampai menang?"Pengacara muda ituterdiam.
"
Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan
kejahatan!" "Jadi kamu akan memenangkan perkara
itu?" Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti
ya”
“Ya.
Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang
tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut
dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak
usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut,
Bukan Karena kamu disogok."
"Betul.
Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa
atauperlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin
memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi
kemanusiaan di mancanegara yang
benci negaramu,bukan?"
"Betul."
"Kalau
begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai
tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran
keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian
untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai
penegak hukum yang profesional."Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara
tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku
kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang
sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu
kepada dia."
Pengacara
muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya.
Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan
suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
"Pulanglah
sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
Pengacara
tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita
itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf,
saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak
beristirahat. Selamat malam."
Entah
karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah
itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang
tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke
telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan
berbisik.
"Katakan
kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara
terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan
memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti
dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali
seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi
lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, Kita akan menjadi bangsayang lalai."
Apa
yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang
dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja
penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya
dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak
mungkin dijamah lagi.
Rakyat
pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu
dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan
dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya
baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus
mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara
tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan
berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya
yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah
kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku
berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih,
"Aku
terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang
putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu
bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari
ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau
berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang
terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri
kita sekarang ini?" **
PEMBAHASAN
A.
Menganalisis unsur-unsur intrinsik
cerpen.
Unsur intrinsik adalah
unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsure-unsur yang secara
faktual dapat dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik dalam
karya sastra, khususnya cerpen, meliputi tema, tokoh/ penokohan, alur (plot),
gaya bahasa, sudut pandang, latar (setting), dan amanat.
I.
Tema
Pengarang yang sedang
menulis cerita pasti menuangkan gagasnnya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa
menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang
disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.Tema atau
pokok persoalan cerpen “Peradilan Rakyat” adalah keadilan di masyarakat.
II.
Alur/plot
Alur adalah urutan peristiwa yang berdasarkan hukum
sebab akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, akan tetapi
menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Kehadiran alur dapat membuat cerita
berkesinambungan.
Didalam
cerita cerpen “peradilan rakyat” tersebut
adalah yang menjadi alur cerita tersebut adalah alur
maju yaitu Pengarang menyusun peristiwa-peristiwa secara berurutan
mulai dari perkenalan sampai penyelesaian.
Antara
lain:
·
mulai melukiskan keadaan (situation);
Seorang
pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang
sangat dihormati oleh para penegak hukum.
Kedatangan pengacara muda itu untuk berdialog masalah hukum di negara yang
dirasakan lemah oleh mereka.
·
peristiwa-peristiwa mulai bergerak
(generating circumtans);
Belum lama ini negara menugaskan aku (pengacara
muda) untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman
mati
·
keadaan mulai memuncak (rising action);
Seorang penjahat yang mendapat yang mendapat
pengacara yang hebat. Penjahat itu, juga meminta kepada pengacara muda untuk
membelanya. Karena pengacara itu profesional maka dia menerimanya dengan
membela penjahat dengan membela penjahat dipersidangan,penjaht yang seharusnya
menjadi musuh negara dan rakyat.
·
mencapai titik puncak (klimaks);
Peradilan terhadap penjahat itu dimulai . gambaran
dari pengacara tua itu benar-benar terjadi sidang perkara yang dilakukan oleh
pengacara dan penjahat itu dimenangkan keduanya. Penjahat itu bebas dengan
tertawa lepas. Penjahat itu menerima kebebasnya dengan cepat keluar
negeri dan sulit untuk menjamahnya kembali.
·
pemecahan masalah/ penyelesaian
(denouement);
Mengetahui hal tersebut rakyat menjadi beramarah.
Mereka turun kejalan dengan melakukan demontrasi besar-besaran dimana-mana,
gedung-gedung dipengadilan dibakar, dan pengacara muda itu diculik dan dibunuh.
III.
Latar
Dalam suatu cerita
latar dibentuk dengan segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan
dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa. Latar ini ada tiga macam
yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar tempa.
a. Latar
Tempat
Latar tempat merujuk
pada lokasi terjadinya peristiwa. Unsure tempat yang dipergunakan dalam cerpen
”Peradilan Rakyat” karya Putu Wijya ini terjadi dirumah pengacara senior
(ayah). Ini ditujukan pada kutipan berikut: “Seorang pengacara muda yang
cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati
oleh para penegak hukum.”
b. Latar
Waktu
Latar waktu berhubung
dengan “kapan” peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Dalam cerpen “Peradilan
Rakyat” karya Putu Wijaya ini latar waktunya pada malam hari. Ini ditunjukan
pada kutipan berikut ini: "Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini,
Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
c. Latar
Sosial
Latar sosial merujuk
pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di
suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa
kebiasaan hidup, istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir
dan bersikap, serta hal-hal lainnya. Adapun latar sosial yang ada dalam cerpen
ini dapat ditunjukan melalui kutipan berikut: Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke
jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan
diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa
dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup.
Rakyat
terus mengaum dan hendakmenggulingkan pemerintahan yang sah. Latar Susana yang tegambar dalam cerpen diatas adalah “menegangkan” dan Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris
jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah
negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar
itu.
Latar suasana yang ditimbulkan pada penggalan cerpen diatas adalah
“kesedihan
pengacara tua karena kematian anaknya.”
IV.
Tokoh
dan Penokohan
Penokohan lebih luas pengertiannya
daripada tokoh atau perwataka, sebab penokohan sekaligus mencakup masalah siapa
tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya
dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca. Penokohan sekaligus menunjuk pada teknik perwujudan dan pengembangan
tokoh dalam sebuah cerita.
·
Pengacara Muda (anak): merupakan seorang
pemuda yang kritis, tekun, bersemangat cerdas dan profesional terhadap
pekerjaannya sebagi seorang pengacara. Hal tersebut berdasarkan kutipan dibawah
ini: “Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh
sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari
kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah
Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak
pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi.
Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil
dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri” Dari kutipan diatas
menunjukkan bahwa pengacara muda tersebut cerdas, dan berpikir kritis. Ia
mencermati keadaan dan situasi, seorang pengacara muda yang bersikap adil dan
profesional pada pekerjaannya sebagai pengacara.
·
Pengacara Senior (ayah): Memiliki
sikap yang bijaksana, penyayang, rendah hati. Hal tersebut berdasarkan kutipan:
“Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang
sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu
kepada dia.” “Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk
ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara
yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan”.
Dari kutipan diatas,
karakter tokoh ayah yang menyayangi dan merindukan putranya. Pengacara senior
sudah tampak lemah dan tua.
·
Sekretaris : perhatian, baik, cantik
jelita. Hal tersebut berdasarkan kutipan “Sekretarisnya yang jelita, kemudian
menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda. “Maaf,
saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak
beristirahat. Selamat malam.”
V.
Sudut
Padang
Sudut pandang adalah
visi pengarang dalam memandang suatu peristiwa dalam cerita. Untuk mengetahui
sudut pandang, kita dapat mengajukan pertanyaan siapakah yang menceritakan
kisah tersebut? Ada beberapa macam sudut pandang, di antaranya sudut pandang
orang pertama (gaya bercerita dengan sudut pandang “aku”), sudut pandang
peninjau (orang ketiga), dan sudut pandang campuran. Namun kesemuanya itu dalam
karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita.
Sudut pandang adalah cara memandang tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan
dirinya pada posisi tertentu. Sudut pandang yang terdapat dalam cerpen
Peradilan Rakyat adalah Sudut pandang orang ketiga yaitu sudut pandang
yang biasanya pengarang menggunakan tokoh “ia”, atau “dia”. Atau bisa juga
dengan menyebut nama tokohnya.
VI.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara
khas penyusunan dan penyampaian dalam bentuk tulisan dan lisan. Ruang lingkup
dalam tulisan meliputi penggunaan kalimat, pemilihan diksi, penggunaan majas,
dan penghematan kata. Jadi, gaya merupakan seni pengungkapan seorang pengarang
terhadap karyanya. Adapun macam-macam gaya bahasa yang membangun cerpen
“Peradilan Rakyat” karya Putu Wijaya dapat dilihat sebagai berikut:
·
Gaya Bahasa Perbandingan dan Perumpamaan
Contohnya: penjahat itu licin seperti belut; rakus seperti monyet;seperti
kucing dan anjing; seperti singa yang lapar; bagai air dengan minyak.
Pada cerpen gaya bahasa perumpamaan
dapat dilihat dari beberapa kutipan di bawah ini:
Ø Mereka
menyebutku Singa Lapar.
Ø Jangan membunuh diri dengan deskripsi-deskripsi
yang menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya
bagaikan mata air, bagai suara alam.
Ø Keadilan
tak boleh menjadi sebuah taeter, tetapi mutlak hanya pencari keadilan yang
kalau perlu dingin dan beku.
·
Metafora
Adapun beberapa penggunaan gaya bahasa pada cerpen “Peradilan Rakyat” dengan
menggunakan majas metafora yaitu;
Ø Dengan
gemilang dan mudah ia mempencundangi negara dipengadilan dan memerdekaan
kembali raja penjahat itu.
·
Depersonikfikasi
Depersonifikasi adalah Gaya bahasa yang mengandaikan manusia atau segala hal
yang hidup, bernyawa, sebagai benda-benda mati yang kaku dan beku. Pada cerpen
“Peradilan Rakyat” contohnya adalah sebagai berikut:
Ø Rakyat
pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu
dengan yel-yel dan poster-poster raksasa.
·
Personifikasi
Gaya bahasa perbandingan yang mengandaikan benda-benda mati, termasuk
gagasan atau konsep-konsep yang abstrak, berperilaku seperti manusia yang
menggerakan seluruh tubuhnya. Pada cerpen gaya “Peradilan Rakyat” bahasa
personifikasi adalah sebagai berikut:
Ø Sementara
sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak diseluruh
wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara
besar itu.
·
Gaya Bahasa Pertentangan Hiperbola,
gaya bahasa yang pernyataan yang melebih-lebihkan jumlahnya ukurannya, atau
sifatnya dengan maksud memberikan penekanan pada suatu pertanyataan atau
situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Pada cerpen
“Peradilan Rakyat” contoh gaya bahasa hiperbola adalah sebagai berikut:
Ø Tetapi
kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang,
dicabik-cabik korupsi ini.
Ø Namun
yang lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan menginjak-injak keadilan
dan kebenaran yang dulu diberhalakannya.
Ø Jangan
membunuh diri dengan deskripsi-deskripsi yang menjebak kamu ke dalam
doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai
suara alam.
Ø Tapi
aku tolak mentah-mentah.
Ø Keadilan
tak boleh menjadi sebuah taeter, tetapi mutlak hanya pencari keadilan yang
kalau perlu dingin dan beku.
Ø Yang
tua memicingkan mata dan mulai menembak lagi.
Ø Juga
bukan ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi
kemanusian di mancanegara yang benci negaramu, bukan?
Ø Entah
luluh oleh senyum dibibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu.
Ø Membebaskan
bajingan yang ditakuti oleh seluruh rakyat dinegeri ini untuk terbang lepas
kembali seperti burung diudara.
Ø Ia
merayakan kemenangan dengan pesta kembang semalam suntuk, lalu meloncat ke
mancanegara, tak mungkin dijamah lagi.
Ø Rakyat
terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Ø Penjahat
besar yang akan terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat.
·
Gaya bahasa Sinisme
Merupakan gaya bahasa berupa sindiran yang berbentuk
kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Pada
cerpen adalah sebagai berikut:
Tidak seperti pengacara sekarang yang kebanyakan
berdagang.
Maksudnya, saat ini banyak pengacara yang bekerja dengan tidak profesional.
Menjual kejujuran demi kepentingan pribadi atau kelompok.
VII.
Amanat
Melalui amanat, pengarang dapat menyampaikan sesuatu, baik hal
yang,bersifat positif maupun negatif. Dengan kata lain, amanat adalah pesan
yang ingin disampaikan pengarang berupa pemecahan atau jalan keluar terhadap
persoalan yang ada dalam cerita. Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur
yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
bangun cerita sebuah karya. Pada cerpen diatas cerpen diatas adalah sebagai
berikut:
1. Dalam memilih pilihan hidup
itu, kita seharusnya sebagai manusia menggunakan pikiran serta perasaan,
sehingga pilihan yang kita ambil tersebut tidak merugikan diri sendiri.
2. Banyaknya mafia-mafia di
negeri ini merupakan bukti kebobrokan moral di Negara ini yang mana hokum bisa
diperjual belikan.
3. Kita sebagai manusia yang
mempunyai akhlak hendaknya menjalani sebuah pekerjaan yang menjadi tanggung
jaawab sesuai dengan norma-norma yang berlaku secara professional, sehingga
hal-hal yang merugikan orang lain apalagi menyengsarakan orang lain dapat
dihindari. Bukan tidak mungkin bila rakyat telah marah, maka akan lupa diri dan
bisa melakukan hal-hal diluar batas kewajaran.
B. Menganalisis
unsur ekstrinsik cerpen.
Unsur Ekstrinsik
Sebagaimana halnya unsur intrinsik,
unsur ekstrinsik pun terdiri atas beberapa unsur. Menurut Wellek & Warren
(1956), bagian yang termasuk unsur ekstrinsik tersebut adalah sebagai berikut.
1. Keadaan
subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan
hidup yang semuanya itu mempengaruhi karya sastra yang dibuatnya.
2. Keadaan
psikologis, baik psikologis pengarang, psikologis pembaca, maupun penerapan
prinsip psikologis dalam karya.
3. Keadaan
lingkungan pengarang, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
4.
Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai
karya seni, agama, dan sebagainya.
Menurut Malinowski,
yang termasuk unsur budaya adalah bahasa, sistem teknologi, sistem mata
pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian.
Unsur-usnru tersebut menjadi pendukung karya sastra. Dalam cerpen
Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya dapat penulis akan memaparkan unsur-unsur
ekstrinsik yang membangun karya sastra tersebut. Adapun unsure-unsur
eksitrinsik yang membangun cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya ini
yaitu:
a. Judul
: Peradilan Rakyat.
b. Penulis
: Putu Wijaya
Biografi
singkat penulis
Putu Wijaya memiliki
nama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, 11
April 1944. Putu, dikenal sebagai seorang budayawan sastra yang telah
menelurkan ribuan karya yang terdiri dari cerpen, novel serta naskah drama dan
film. Putu sendiri adalah bungsu dari lima bersaudara seayah dan tiga
bersaudara seibu. Ayah Putu, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawai
yang keras dalam mendidik anak-anaknya.
Putu diharapkan bisa
menjadi dokter oleh kedua orang tuannya itu, telah menulis 30 novel, 40 naskah
drama, ribuan cerpen, ratusan esei, artikel lepas dan kritik drama. Bahkan Putu
juga telah menulis skenario film dan sinetron. Selain itu, Putu juga seorang
dramawan dengan memimpin Teater Mandiri sejak 1971. Bersama teather itu,
dirinya telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Bahkan
puluhan penghargaan diraih atas karya sastra tersebut. Karya skenarionya pun
telah dua kali meraih piala Citra Festival Film Indonesia (FFI), untuk PERAWAN
DESA (1980) dan KEMBANG KERTAS (1985). Sementara karya bukunya yang banyak
diperbincangkan di antaranya, Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik,
Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali, dan lain-lain.
C. Menganalisis
nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen.
·
Nilai sosial
Nilai sosial yang ada dalam cerpen Peradilan Rakyat
Putu Wijaya ini penulis dapat tunjukan berdasarkan kutipan berikut ini: “…Sebagai
seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar
aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi
kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan
proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Dari kutipan diatas, kita harus sadar bahwa kita
harus selalu dapat membantu orang lain selagi kitamampu karena kita harus sadar
bahwa pada hakikatnya kita adalah mahluk sosial.
·
Nilai moral
Pesan moral yang ingin disampaikan Putu Wijaya dalam
Cerpen Peradilan Rakyat ini adalah sebagai seorang penegak hukum seharusnya
kita memperhatikan kepentingan orang banyak, jangan kita mengorbankan
kepentingan orang banyak demi mempertahannkan rasa professional dalam diri
kita.
·
Nilai ekonomi
Nilai ekonomi yang ada dalam cerpen Peradilan Rakyat
Putu Wijaya ini penulis dapat tunjukan berdasarkan kutipan berikut ini: ”…Kau
tidak membelanya karena ketakutan, bukan?" "Tidak! Sama sekali
tidak!" "Bukan juga karena uang?!" "Bukan!" "Lalu
karena apa?" Pengacara muda itu tersenyum. "Karena aku akan
membelanya." "Supaya dia menang?"
Dari kutipan di atas, maka dapat kita lihat bahwa si
Pengaca muda ini membela klayennya bukan karena uang tetapi dia hanya ingin
agar klayennya menang. Hal ini menunjukan bahwa ekonomi tokoh pengacara muda
ini cukup mapan. Dalam menjalankan profesinya sebagai pengacara dia tidak perlu
disogok, dia hanya berpegang pada rasa professional yang ada dalam dirinya.
·
Nilai pendidikan
Nilai pendidikan yang ada di dalam cerpen Peradilan
Rakyat Putu Wijaya ini penulis dapat tunjukan berdasarkan kutipan berikut ini: “…Negara
harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan
keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini…."
Selain kutipan di atas, nilai pendidikan yang ada
dalam cerpen Peradilan Rakyat Putu Wijaya ini penulis juga dapat tunjukan
berdasarkan kutipan berikut ini:
"…Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha
untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang
paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai.
Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling
penting….”
Dari kedua kutipan diatas maka, untuk menegakan
sebuah keadilan maka kita harus menegakannya dengan keadilan yang bersih tanpa
berdasarkan kepentingan tertentu dan berusaha untuk menegakan keadilan
berdasarkan kebenaran.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas
kita dapat menyimpulkan cerpen Peradilan Rakyat milik Putu wijaya mempunyai
unsur intrinsik sebagai berikut, yaitu :
1.
Tema : Keadilan di masyarakat
2.
Alur
: Alur maju
3.
Latar
a) Latar
Tempat : Di Rumah pengacara senior (Ayah)
b) Latar
Waktu : Malam Hari
c)
Latar Sosial : Menegangkan dan kesedihan
pengacara tua karena kematian anaknya.
4.
Tokoh dan Penokohan
a)
Pengacara Muda (anak): merupakan seorang
pemuda yang kritis, tekun, bersemangat cerdas dan profesional terhadap
pekerjaannya sebagi seorang pengacara.
b)
Pengacara Senior (ayah): Memiliki
sikap yang bijaksana, penyayang, rendah hati.
c)
Sekretaris, perhatian, baik, cantik
jelita.
5.
Sudut pandang : Orang ketiga
6.
Gaya Bahasa : Gaya bahasa yang digunakan
yang digunakan dalam cerpen diatas adalah. Imagery berupa
perumpamaan yang mengundang emosi pembaca.
7.
Amanat :
a)
Dalam memilih pilihan hidup
itu, kita seharusnya sebagai manusia menggunakan pikiran serta perasaan,
sehingga pilihan yang kita ambil tersebut tidak merugikan diri sendiri.
b)
Banyaknya mafia-mafia di negeri
ini merupakan bukti kebobrokan moral di Negara ini yang mana hokum bisa
diperjual belikan.
c)
Kita sebagai manusia yang
mempunyai akhlak hendaknya menjalani sebuah pekerjaan yang menjadi tanggung
jaawab sesuai dengan norma-norma yang berlaku secara professional, sehingga
hal-hal yang merugikan orang lain apalagi menyengsarakan orang lain dapat dihindari.
Bukan tidak mungkin bila rakyat telah marah, maka akan lupa diri dan bisa
melakukan hal-hal diluar batas kewajaran.
Adapun unsure-unsur
eksitrinsik yang membangun cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya serta
nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen yaitu:
a. Judul
: Peradilan Rakyat.
b. Penulis
: Putu Wijaya
Biografi
singkat penulis
Putu Wijaya memiliki nama asli I Gusti
Ngurah Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944. Putu,
dikenal sebagai seorang budayawan sastra yang telah menelurkan ribuan karya
yang terdiri dari cerpen, novel serta naskah drama dan film.
a)
Nilai sosial
Dari kutipan diatas,
kita harus sadar bahwa kita harus selalu dapat membantu orang lain selagi
kitamampu karena kita harus sadar bahwa pada hakikatnya kita adalah mahluk
sosial.
b)
Nilai Moral
Pesan moral yang ingin
disampaikan Putu Wijaya dalam Cerpen Peradilan Rakyat ini adalah sebagai
seorang penegak hukum seharusnya kita memperhatikan kepentingan orang banyak,
jangan kita mengorbankan kepentingan orang banyak demi mempertahannkan rasa
professional dalam diri kita.
c)
Nilai Ekonomi
Dari kutipan di atas,
maka dapat kita lihat bahwa si Pengaca muda ini membela klayennya bukan karena
uang tetapi dia hanya ingin agar klayennya menang. Hal ini menunjukan bahwa ekonomi
tokoh pengacara muda ini cukup mapan. Dalam menjalankan profesinya sebagai
pengacara dia tidak perlu disogok, dia hanya berpegang pada rasa professional
yang ada dalam dirinya.
d)
Nilai Pendidikan
Dari kedua kutipan
diatas maka, untuk menegakan sebuah keadilan maka kita harus menegakannya
dengan keadilan yang bersih tanpa berdasarkan kepentingan tertentu dan berusaha
untuk menegakan keadilan berdasarkan kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA